04 December 2011

Selamat Jalan...

Benarkah? Hanya itu yang ada di benakku, saat ibuku membangunkanku di pagi buta hari itu, dan memberi tahuku kabar yang sama sekali tak ingin kudengar, dan kurasa hal itu amat sangat tidak mungkin. Aku masih sangat mengantuk, dan benar benar tidak rela untuk meninggalkan tempat tidurku. Tapi sungguh terlalu bila aku tidak bangun ketika mendengar kabar bahwa sepupuku meninggal. Ibuku memintaku ke rumah nenekku agar jika siapapun membutuhkan pertolongan, aku bisa membantu sebisaku, ibuku tidak bisa pergi kesana karena ia harus menjaga adikku yang kini masih berumur 1 tahun.

Aku bangun dan membersihkan diriku seadanya. Setelah itu aku bergegas ke rumah nenekku yang tidak begitu jauh dari rumahku, mungkin hanya berjarak sekitar 10 meter, tempat dimana jenazah Kak Bella hendak dibawa. Tapi ketika aku sampai disana, aku belum mendapati jenazah Kak Bella, dan aku duduk di bangku, hanya memandangi nenekku dan budeku, mondar-mandir entah untuk apa, aku hanya menunggu kalau-kalau mereka menginginkan aku membantu satu dua hal. Selama menunggu, aku merenung.

Aku benar-benar tak habis pikir jika ‘memang’ benar Kak Bella sudah tiada. Seharusnya aku bersedih, aku menangis, tapi entah mengapa aku tak melakukan hal itu, aku benar-benar berpikir bahwa aku harus bersedih, tapi tidak! Aku tidak menangis, sampai tidak lama kemudian, datang beberapa orang, dalam jumlah yang cukup banyak, tapi tidak banyak sekali. Mereka membawa jenazah Kak Bella dalam sebuah tempat, aku tak tahu apa namanya, yang pasti entah bagaimana caranya, Kak Bella sudah ada di lantai, beralaskan kain tebal, tubuhnya lemas, benar-benar kosong tatapannya, seketika aku merasa ngeri melihatnya, benarkah…… dalam sekejap kurasakan pipiku basah oleh air mata, dan dada ini sungguh begitu sesak.
***
Kak Bella merupakan salah satu dari ke-13 cucu nenekku. Ia berumur 19 tahun ketika meninggalkan dunia ini. Setelah lulus sekolah, Kak Bella langsung bekerja, pekerjaan yang ia miliki  sangat sederhana. Kak Bella sudah sakit-sakitan sejak ia masih kecil. Bahkan, diumurnya yang 19 tahun ini, Kak Bella belum mengalami menstruasi, belum mengalami masa pubertas. Itulah sebabnya Kak Bella tidak seperti orang dewasa berumur 19 tahun pada umumnya. Ia begitu polos, dan belum memiliki pikiran yang seperti orang dewasa, Tidak ! Kak Bella tidak idiot, keterbelakangan mental atau apalah itu ! ia hanya belum menginjak masa dewasa, dan tidak pernah sampai akhir hayatnya.

Ia tumbuh di bawah asuhan orang tua yang tidak segan-segan menunjukkan pertengkaran yang terjadi di antara mereka kepada anak-anak mereka. Ayah Kak Bella merupakan orang yang suka main judi, dan ketika kalah atau tidak punya uang, Kak Bella sering menjadi sasaran kemarahan sang ayah. Kak Bella begitu tertekan dengan keadaan seperti itu, ia pun tak tahu harus bercerita kepada siapa, karena rumah mereka dengan rumah nenekku yang juga Tante Eva ikut tinggal di dalamnya berjarak sangat jauh. Hal itu lah yang kemudian membuatnya menjadi sakit-sakitan, bahkan sakit liver pun ia alami.

Kak Bella tinggal di rumah nenekku sejak ia mulai bekerja, karena lokasi tempat ia bekerja cukup dekat bila dicapai dari rumah nenekku. Sejak itulah aku cukup dekat dengannya, apalagi dengan Tante Eva, Kak Bella jadi memiliki banyak kesempatan untuk bercerita dengan Tante eva.

Awalnya Tante Eva tidak mengetahui soal penyakit Kak Bella, sampai ia menyadari bahwa ada kejanggalan yang terjadi pada diri Kak Bella, setiap habis makan, pasti Kak Bella pergi ke kamar mandi untuk buang air besar. Jika sehari ia makan 4 kali, maka 4 kali pula ia ke kamar mandi untuk buang air besar. Kemudian Tante Eva menghubungi ibu Kak Bella, dan jawaban yang ia dapat hanya “sudah biasa….” Sungguh terlalu memang, hal seperti itu dianggap remeh. Sampai akhirnya kak Bella benar-benar jatuh sakit dan harus di rawat di rumah sakit.

Berbagai macam pengobatan dari yang alami sampai yang ilmiah sudah dicoba, namun Kak Bella tak kunjung membaik, seakan penyakit itu memang sudah menyatu dengan jiwanya. Makin hari pun badan Kak Bella terlihat semakin kurus. Selama kak Bella hidup dengan penyakit yang dideritanya , ia masih sanggup untuk bekerja dan melakukan aktifitas seperti biasanya. Tapi ketika penyakit itu benar-benar sudah parah, Kak Bella sudah tidak sanggup melawannya, dan akhirnya ia pulang ke rumahnya, serta berhenti bekerja.
Makin hari pula penyakit Kak Bella semakin parah, bahkan perut dan bagian tubuhnya yang lain membesar, karena livernya pecah, itulah yang Tante Eva ceritakan padaku, aku tak tahu apa itu artinya. Menjelang 2 minggu sebelum kematiannya, Kak Bella selalu membicarakan hal yang tidak jelas dan melantur kepada Tante Eva, mungkin karena memang orang terdekatnya ialah Tante Eva. Hal melantur yang ia bicarakan antara lain seperti

“Tante, punya baju bayi bekas gak?” Tanya Kak Bella.
“Ada Bell, kenapa?” jawab Tante.
“Nanti kasih ke Ibu aku ya Tante, kan ada yang mau gantiin Bella”
Dan kalimat yang terakhir yang membuat Tante Eva benar-benar khawatir dan ingin menemui kak Bella adalah “Tante, kalo aku meninggal, Tante melawat ya..”

Semua kalimat-kalimat melantur itu Kak Bella ucapkan lewat pesan singkat (SMS), dan ketika mendapat kiriman kalimat terakhir itu, seketika Tante Eva menghubungi Kak Firdha, cucu nenekku yang lain, cucu tertua diantara cucu-cucu nenekku dan memintanya untuk menemani Tante Eva ke rumah Kak Bella. Tante Eva mengatakan bahwa ia ingin sekali ke rumah Kak Bella, saat itu hari sudah malam, tapi Tante Eva tidak menghiraukan udara dingin yang ada karena ia benar-benar memiliki keinginan yang mendalam untuk menemui Kak Bella.

Sesampainya disana, Tante Eva mendapati Kak Bella sedang duduk, atau tepatnya memaksakan diri untuk duduk, keadaannya sudah sangat menyedihkan. Tubuh kurus, sementara bagian perut membesar, Tante Eva menahan sesak di dada, dan ia berusaha sebisa mungkin agar tidak menangis, ia tidak ingin membebani Kak Bella.  “Sudah Bella, kamu tiduran saja, kondisi kamu tidak memungkinkan kamu untuk duduk”  begitu Tante Eva menyuruh Kak Bella. Kak Bella menurutinya dan ia terbaring.

“Tante, Allah tuh gak sayang ya sama Bella?” Tanya Kak Bella dengan begitu polos,atau mungkin karena ia memang tidak tahu harus berkata apalagi.
“Kok Bella ngomongnya begitu?” jawab Tante Eva.
“Habis, Bella minta sembuh tapi justru Bella makin diperparah sakitnya, Bella mau sembuh Tante..”
“Allah sayang sama Bella, mungkin ini jalan yang Allah pilih buat Bella, mungkin Allah membuat Bella seperti ini agar orangtua Bella sadar, agar ini nggak terjadi sama adik-adik Bella. Bella harus ikhlas nerima semuanya, rencana Allah pasti indah buat Bella”. Hanya itu yang bisa Tante Eva katakan kepada Bella, melihat bahwa keponakannya itu sama sekali belum ikhlas bila Allah memanggilnya ke alam berikutnya.
Setelah itu, Kak Bella terlihat berpikir, mungkin ia membenarkan perkataan Tante Eva dan mulai mengikhlaskan bila memang takdirnya sudah harus meninggalkan dunia ini.
***
Kemudian aku menyaksikan tetangga nenekku melepas pakaian yang Kak Bella pakai saat itu, menggunakan gunting, ia merobek baju itu, dan sebisa mungkin agar tidak begitu memberikan tekanan yang besar terhadap jenazah, tetangga itu meminta pertolonganku untuk menutupi Kak Bella, agar proses pelepasan baju itu tidak dilihat banyak orang, aku benar-benar tidak tahan memandang wajahnya, wajah Kak Bella, aku menitikkan air mata.

Tak lama kemudian, datang Tante Eva, baru saja ia sampai di depan pintu dengan muka yang merah padam dan bibir terkatup, sekejap ia histeris melihat Kak Bella terbaring lemas tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Bellaaa bangun Bella banguuuuunn, jangan tinggalin Tante Bellaaa….” Begitulah yang Tante Eva katakan, entah kepada siapa, ia benar-benar histeris. Kemudian Tante Eva menghampiri jenazah Kak Bella dan Tante Eva tak henti-hentinya mengucapkan kalimat yang intinya “kembalilah”, kalimat yang sama sekali tiada gunanya. Tante Eva memang merupakan salah satu orang terdekat Kak Bella, jadi wajar saja bila ia begitu histeris kehilangan Kak Bella. Tante Eva sempat pingsan, mungkin karena beliau benar-benar tidak kuat.
***
Sejak kunjungan Tante Eva malam itu, Kak Bella terus berusaha menghubungi Tante Eva, entah itu lewat pesan singkat, atau menelponnya. Tante Eva jarang sekali memiliki waktu untuk menjawab pesan singkat maupun telepon dari Kak Bella, ini dikarenakan pekerjaan Tante Eva, ia benar-benar sibuk di kantornya. Kak Bella terus meminta agar ia diizinkan untuk menginap di rumah nenekku, tapi tante Eva tidak mengizinkannya. Bukan karena Tante Eva tidak mau, tetapi tante Eva hanya memikirkan, siapa yang akan mengurusi Kak Bella disini? Di rumah nenekku hanya ada nenekku, kakak dari nenekku, dan anak Tante Eva yang masih kecil.

Sampai pada suatu pagi, Kak Bella menelepon ke rumah nenekku, dan nenekku yang mengangkat teleponnya.

“Nek, izinin Bella nginep di rumah nenek ya? Sehariiiii aja nek….”
“Yaudah, Bella boleh datang, tapi jangan siang ya nak… kan panas, datangnya sore aja” jawab nenekku.

Akhirnya Kak Bella pergi ke rumah nenekku, menggunakan taksi dan ditemani oleh ibunya sore hari. Entah ada dorongan apa yang membuat Kak Bella benar-benar ingin tinggal di rumah neneknya bahkan bila hanya sehari.

Tapi hal yang tak terduga terjadi. Di tengah-tengah perjalanan, Kak Bella tiba-tiba saja mengalami kejang-kejang. Ibu Kak Bella pun panik, dan langsung menghubungi Tante Eva yang saat itu sedang bekerja.

“Eva… gimana ni? Bella kejang-kejang, kakak lagi di jalan mau ke rumah mama” begitu yang dikatakan ibu Kak Bella di telepon.

“Kak, coba hubungi Kak Bunga atau Kak Dian, Eva lagi sibuk kerja” jawab Tante Eva, ia sebenarnya begitu khawatir, tapi pekerjaannya memang tidak bisa ditinggalkan, ia pun berpikir mungkin itu hanya merupakan kejang-kejang biasa.

Setelah ibu Kak Bella mendapat masukkan dari ibuku (Dian), ia membawa Kak Bella ke rumah sakit terdekat, beruntungnya, rumah sakit itu tidak begitu jauh dari rumah nenekku.

Berjam-jam Kak Bella berada dalam kamar rumah sakit. Banyak dokter yang berusaha menyelamatkan nyawanya. Ibu Kak Bella begitu cemas menanti putrinya di luar kamar. Tapi tak lama kemudian, takdir tak bisa dihindari, Kak Bella telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Pada pagi harinya, sekitar pukul setengah 4, ibuku mengabari Tante Eva, tentang kepergian Kak Bella. Tante 
Eva saat itu sedang berada di rumah temannya, karena ia tadi lembur di kantornya, dan karena saat itu waktu menunjukkan pukul 2 pagi, Tante memutuskan untuk menginap di rumah temannya. Baru saja terlelap sebentar, mendapat kabar  demikian, Tante Eva langsung panik dan buru-buru berganti pakaian, serta bergegas pulang.

Ketika sampai di halte busway yang terakhir untuk mencapai rumah nenekku, Tante Eva mendengar suara ambulans. Hatinya getir dan berkata “itu Bella….”. memikirkan tentang kebenaran hal itu, kaki Tante Eva lemas, ia benar-benar sesak, dan tak sabar lagi untuk segera sampai, ia berjalan dengan cepat menuju rumah nenekku. Tak lama menjelang kedatangan jenazah Kak Bella, Tante Eva pun datang.
***
Setelah menjalani berbagai macam proses, akhirnya sampai pada tahap dimana jenazah Kak Bella akan dikafankan, setelah terkafankan dengan rapi, si ibu yang mengurusi jenazah Kak Bella bertanya pada kami, keluarga besar Kak Bella, apakah ada diantara kami yang ingin mengucapkan kalimat terakhir untuk Kak Bella.

“Bella, Tante minta maaf ya kalo tante punya salah sama Bella..” begitulah yang dibisikkan Tante kepada jenazah Kak Bella. Sebelum Tante Eva, orang tua Kak Bella sudah melakukannya terlebih dahulu. Tak lama kemudian setelah Tante Eva membisikkan kalimat tersebut, setetes air mata mengalir dari mata Kak Bella ! kalian boleh saja tidak percaya, tapi itu memang benar-benar terjadi, seketika dada Tante begitu sesak,,rasanya ia ingin sekali menangis dan menunjukkan pada dunia bahwa ia sungguh tak rela Kak Bella harus pergi, tapi ia tahu, hal itulah yang membuat jenazah Kak Bella meneteskan air mata, karena tak lama setelah itu, ibu yang mengkafani jenazah Kak Bella berkata “Udah ya, tolong diikhlasin, jangan buat Bellanya sendiri ngerasa berat buat pergi, jangan dibebanin Bellanya..”

Sampailah pada tahap dimana jenazah Kak Bella akan dikuburkan, melihat prosesnya, aku sungguh tak henti-hentinya menahan tangis. Aku membayangkan Kak Bella tertidur di bawah sana, dan sungguh mengerikan mengetahui bahwa ia akan berteman dengan hewan tanah yang akan menggerogoti raganya, oh Tuhan! Bagaimana jika tiba-tiba Kak Bella terbangun? Bagaimana jika Kak Bella sebenarnya belum mati? Dan ketika ia terbangun, siapa yang akan membantunya keluar dari sana? Aku tahu aku konyol berpikir demikian, tapi memang begitu yang kupikirkan, bahkan sempat terlintas di benakku untuk meminta orang-orang menghentikan proses ini dan memberi Kak Bella sedikit waktu untuk tersadar dan kembali hadir di tengah-tengah kami semua.

Selamat jalan Kak Bella, semoga kak Bella nyaman ya disana.. semoga Kak Bella bertemu Papa di surga ya…
***
Ayah Kak Bella kini sudah mulai berubah, sudah mulai mengurangi judinya, begitupun ibunya, kini ia menjadi ibu yang peka terhadap hal yang terjadi pada sang anak, pada adik-adik Kak Bella.
Dua minggu telah berlalu sejak kepergian Kak Bella, saat ini aku sedang berada di rumah nenekku dan berbincang-bincang dengan Tante Eva.

“Tante, kemarin aku mimpi ketemu Kak Bella”
“Oh Ya? Tante cuma pengen tahu, apa dalam mimpi kamu Kak Bella tersenyum? Apa dia ngomong sesuatu sama kamu?” jawab Tante Eva merespon pembicaraanku.
“Bener Tante, Kak Bella nggak ngomong apa-apa” sahutku dengan ekspresi murung, kemudian aku melanjutkan kata-kataku
“Tapi Kak Bella tersenyum Tante..”
“Bagus deh, itu artinya Kak Bella seneng disana” ucap Tante Eva sambil tersenyum
“Iya Tan? Kalo begitu bagus ya tan, dan mudah-mudahan aja bener” jawabku sambil membalas senyum Tante.

“TIDAK ADA YANG BENAR-BENAR ABADI DI DUNIA INI, MAKA GUNAKANLAH KESEMPATAN YANG ADA SEKECIL APAPUN ITU. SAYANGI MEREKA YANG ADA DI SEKITARMU, KARENA SIAPA YANG AKAN TAHU BAHWA MAUT AKAN MENJEMPUT MEREKA KEESOKKAN HARI, ATAU MUNGKIN MENJEMPUTMU”
READMORE - Selamat Jalan...

09 November 2011

Menyesal - puisi

merindukan seseorang yang sudah bukan menjadi milikku lagi
aku tau itu tidak boleh
aku tau itu terlarang
tapi rindu ini membunuhku
rasa ini menusukku

penyesalan memang selalu datang di saat yang tidak tepat
dan aku menyesal
ingin aku kembali ke masa itu
7 bulan yang lalu, dimana semua masih indah
semua masih terkendali
semua masih ramah

kalau saja benar, aku dapat kembali ke waktu itu,,
sungguh, aku tak akan siakan kesempatan itu
karena dengan kembali, aku dapat mengambil tindakan yang benar
yang tak kan membuat keadaan sekarang seperti ini

saat ini semua menjauh
aku merasa sendiri
kesunyian membuatku menyesal

saat ini semua memburuk
keadaan ini membuatku terpuruk
jatuh terlalu dalam....

tuhaan..
andai benar kau membawaku ke masa itu
sungguh aku takkan siakan, sungguh..
sekarang semua memburuk, semua membuatku muak

jika memang tidak bisa,
maka tolong aku..
ubahlah keadaan menjadi lebih baik

aku tau aku salah, aku tau aku berdosa
dan aku sudah berusaha memperbaiki salahku,
dengan mengemis maaf dan pengertian
aku sudah merasa tertekan dengan rasa bersalah ini,
tapi ternyata itu semua tak berguna
itu semua tak merubah keadaan
lalu aku harus apa?

tegarkan aku tuhan..
ubah keadaan ini, bantu aku......
READMORE - Menyesal - puisi

24 September 2011

English or American?


Ada yang tau perbedaan bahasa inggris di Inggris sama di Amerika? hm.. sebagian mungkin udah pada tau, dan gue, yang termasuk golongan udah tau, jujur lebih suka sm pronounciation atau cara penyebutan dari Inggris American, karna apa? lo tau gak sih bahasa Inggris British tuh pengucapannya terlampau berlebihan, kl kalian tau film Harry Potter, ya kaya gtu lah cara ngomong bahasa inggris dr inggris wahahaha tau kan gimana Harry Potter kalo dalam penyebutannya itu "herri pottahh" jd di tiap akhiran yg ada huruf r nya itu ga disebut dgn jelas huruf r nya, lebay banget kan, well itu ciri khas negara itu hehe
itu sih cuma satu dr sebagian banyak perbedaannya, kalo mau tau yg lain, baca aja nih baca :

Spelling
Bahasa Inggris British cenderung mertahanin ejaan banyak kata yang asalnya dari Perancis, kalo Inggris American nyoba untuk ngeja kata lebih mendekati ke cara mereka melafalkannya dan mereka menghilangkan huruf-huruf yang tidak diperlukan.

contohnya kaya gini: 
British
American
Colour
Color
Labour
Labor
Metre
Meter
Catalogue
Catalog
Theatre
Theater
Centre
Center
Apoligise
Apologize
Defence
Defense

Pronunciation
Orang Amerika biasanya melafalkan huruf “r” dengan menggulung lidah mereka ke belakang dan merapatkannya ke langit-langit mulut, sedangkan kebanyakan orang Inggris tidak melafalkan huruf “r” dalam kata, khususnya jika terdapat pada akhir kata.

Dalam bahasa Inggris Amerika kata “can” dan “can’t” kedengaran sangat mirip, sedangkan dalam bahasa Inggris British lo bisa membedakannya secara jelas.

Orang Amerika cenderung melafalkan kata seperti “reduce”, “produce”, “induce”, “seduce” (kata-kata kerja yang berakhiran “duce”) dengan lebih rileks, yang berarti bahwa setelah huruf “d” mengikut bunyi/huruf “u”. Dalam bahasa Inggris British setelah huruf “d” ditambahkan “j”.

Orang Amerika memiliki kecenderungan untuk mereduksi kata dengan menghilangkan beberapa huruf. Kata “facts” misalnya dalam bahasa Inggris Amerika dilafalkan sama dengan kata “fax” - “t” tidak diucapkan.

Kadang-kadang huruf dihilangkan dalam bahasa Inggris British seperti dalam kata“secretary”, dimana huruf “a” tidak diucapkan.

Dalam bahasa Inggris Amerika, kombinasi huruf “cl” dalam kata seperti “cling”, “climat”, “club” dll, kedengaran lebih frikatif. Lo dapat menghasilkan bunyi ini dengan menegangkan pita suara.

Penekanan kata terkadang juga berbeda. Contoh, kata “details” mendapatkan penekanan pada huruf “e” dalam Inggris British dan pada “ai” dalam Inggris Amerika.

Vocabulary
British
American
Football
Soccer
Biscuit
Cookie
Toilet
Rest room
Shop
Store
Chemist
Drugstore
Pants
Trousers
Torch
Flashlight
Underground
Subway
Groundfloor (lt.dasar )
Firstfloor (lt.dasar)
Sweets
Candy
Rubbish bin
Trash can

jadi kalian lebih pilih mana? lebih nyaman mana? setuju sama gue apa lebih suka sm Inggris British? hmmm....


READMORE - English or American?

06 August 2011

Tunggu Aku

Disini aku sendiri, duduk termenung tanpa ada yang menemani. sulit bagiku untuk terbiasa dengan keadaan seperti ini, aku terbiasa dengannya, mencari uang di Lampu Merah ini, tempat dimana kami menggantung hidup kami.

namaku Rossa, aku hanya seorang anak pengamen yang hidup sebatang kara. orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. dulu hidupku tidak sesusah ini, ketika mereka pergi, aku tak tau harus bagaimana, bahkan aku tak tau siapa dan dimana saudara-saudaraku. aku anak tunggal. tapi kemudian Melati datang untuk menemani hidupku, meski ia tak membuat ekonomi dalam hidupku bertambah, tapi ia dapat menemaniku, mengisi kekosongan hidupku.

pertemuan ini bermula ketika ku berjalan tanpa arah. saat itu aku tak tau mau kemana kakiku akan membawaku. aku benar-benar pasrah, rasanya aku ingin mati saja. aku ingin menyusul ayah dan ibuku. tetapi Melati datang menghentikanku di pinggir jalan raya ini, nampaknya ia mengerti apa yang sedang ku alami, meskipun ia tak tau persis. singkatnya, sejak itu, aku hidup bersama dengan Melati, berjuang hidup dari pekerjaan mengamen kami. kami tinggal tidak jauh dari pinggir jalan raya ini, di sebuah gang tempat dimana para gepeng tinggal, hanya dengan beralaskan kardus. makan, tidur, bermain, semua hampir kami lakukan bersama disana.

ternyata kehidupan Melati tidak jauh berbeda dengan kehidupanku, orang tuanya meninggal dalam peristiwa kebakaran di sebuah mall. saudara-saudaranya pun tidak ada yang memperdulikannya setelah itu. Melati anak yang baik, kulitnya sawo matang, ia manis, ia pintar, tapi sama sepertiku, ia tidak bisa melanjutkan sekolah. ia baik, selalu mendengar keluh kesahku. ahh.... Melati, ia merupakan sosok seorang sahabat yang sangat kusayangi.

masih melekat di pikiranku, saat-saat dimana kami mengamen bersama, makan seadanya bersama, tidur bersama, meskipun semuanya serba seadanya, tapi kebersamaan kami membuatku cukup bahagia. tapi kini, semua harus kujalani sendiri, lagi. Melati meninggalkan ku untuk selama-lamanya.

rasanya ingin ku mengulang peristiwa siang itu. seharusnya aku tak memanggil Melati dari seberang jalan, aku tak sabar ingin memperlihatkan padanya jumlah uang yang kudapat saat itu, dengan wajah bersemangat, ia menghampiriku dari seberang jalan sana, tapi aku tak tau bahwa dari kejauhan ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat cepat, begitupun Melati, ia tidak tau.sekejap saja mobil itu sudah merenggut nyawanya.

rasanya sungguh seperti mimpi yang tidak pernah kuinginkan, aku tak bisa dan tak ingin menerima kenyataan ini. andai saja waktu dapat terulang, aku takkan memanggilnya, aku yang akan menghampiri ia, sehingga bila memang harus kecelakaan itu terjadi, maka  akulah yang ada di posisi melati saat itu, jadi aku tak perlu merasa kehilangan seperti ini..

tuhaaan, apa dosaku hingga kau berkehendak seperti ini, memanggil orang - orang yang kusayang tanpa sisa......


aku berjalan tanpa arah dan tujuan. tak ada lagi yang bisa ku banggakan dari hidupku, tak ada lagi yang membuatku bersemangat jalani hidup ini. semuanya...... lenyap.

aku ingin menyebrangi jalan raya ini, tanpa ku tahu, ada sebuah motor yang melaju sangat cepat. aku tertabrak, terpental jauh sekali.

ayah...
ibu...
Melati....
tunggu aku disana................


Rossalinda Amalia
binti
Zainal Hamid
Lahir : 14 Mei 1990
Meninggal : 29 Juni 2005




NB : cerita diatas cuma karangan gue, kalo ada kesamaan nama dan tempat mohon maaf, itu gak sengaja hehe semoga pada nikmatin yaa, :)

pengarang : MUTIARA SYALEN
READMORE - Tunggu Aku

25 July 2011

Doa Terakhirku



Gerimis turun bergantian. Semilir angin memetik bunga kamboja, menjatuhkannya di kepalaku seiring dengan kibasan sayap kupu-kupu yang kemudian hinggap di bahuku.

Warna hitam mendominasi pakaian yang dikenakan mayoritas orang.

Seperti sebuah elegi yang selalu bernuansa hitam menerjemahkan duka, beberapa orang terlihat menangis deras. Kami membentuk lingkaran mengelilingi pusara, membuatku mudah mengenali wajah-wajah mereka dengan jelas. Tunggu, siapa perempuan yang menghadap nisan itu? Penggungnya berguncang…

Astaga, apa itu tadi?
Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh dan menguasaiku seketika. Ia membangunkan bulu kudukku. Mengalir bersama darah dan menggolakannya, berdetak bersama jantung dan mempercepat ritmenya.
Tiba-tiba pikiranku meluncur pada Rangga yang tengah terbaring lemah di rumah sakit Hasan Sadikin akibat dari penyakit leukimia yang dideritanya. Apa jangan-jangan ini adalah peringatan pemakaman Rangga yang akan segera terjadi? Karena… dari semua orang yang kulihat di pemakaman itu, tak kulihat Rangga di sana …

“Atos dugi, Neng,” kata supir taxi yang ku taksir usianya nyaris setengah abad.
“Oh, muhun, Pak. Ieu artos na,” jawabku sambil merogoh uang Rp.20.000 dari saku seragam.
“Eh, eta keresek kakantun, Neng!” katanya mengingatkanku yang sudah melangkah meninggalkan taxi.
“Eh, tuh nya, hilap, hatur nuhun, Pak. Mangga.”

Kalau bukan karena Rangga yang sedang dirawat, aku malas untuk berkunjung ke rumah sakit. Aroma beragam jenis obat yang khas slalu menyerang indra penciumanku ketika kulangkahkan kaki dipintu masuk. Belum lagi raut wajah orang yang berseliweran selalu terlihat redup. Kedua hal itu membuat rumah sakit terasa sangat menyeramkan bagiku.

Aku sampai di kamar inap Rangga. Kudapati ia tengah tertidur pulas dan mendengkur. Hati-hati, ku tarik kursi ke samping ranjang dan mendudukinya. Kemudian ku ambil setangkai mawar yang tadi sempat ku beli dari kumpulan kios penjual bunga di Wastu Kencana dan menaruhnya di atas meja di samping ranjang.
Lalu Rangga menggeliat bangun. Ia menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

“Oops… Maaf aku membangunkanmu. Aku berisik ya?”
“Ngga kok, aku hanya mencium wangi bunga mawar, Des… Hehe, kamu sudah lama datang?” tanyanya diiringi seutas senyuman dari wajah tampannya yang terlihat pucat.
“Belum lama, mungkin baru tiga menit. Bagaimana kabarmu? Udah baikan?”
“Yah, alhamdulilah. Sejauh ini Tuhan masih memberikan aku waktu, nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”

Oh Tuhan, hatiku tersayat mendengarnya.

“Hidup dan mati itu rahasia Tuhan. Kamu nggak boleh begitu saja berserah diri, kamu harus berusaha dulu untuk dapat bertahan hidup.”
“Memangnya apa yang bisa aku lakukan?”
“Kamu bisa berdoa. Kamu masih punya Tuhan untuk temanmu berkeluh kesah.”
“Aku ragu, apakah Tuhan masih bisa mendengar doaku dari dalam mimpi? Belakangan ini aku menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Aku bahkan nggak bisa sembahyang, Des.”
“Rangga, terserah kamu mau tidur selama apapun. Tapi ingat, Tuhan ngga ikutan tidur. Dia akan slalu dengar doa umatnya, kapan pun, di mana pun…”
“Terkadang kalo aku lagi tidur, aku takut aku nggak akan pernah terbangun lagi,” tuturnya seraya mencoba tertawa untuk mencairkan suasana.
“Simpel saja, seandainya aku mengalami itu, maksudku tertidur tanpa terbangun lagi, aku hanya akan meminta satu hal pada Tuhan.”
“Apa itu, Des?” Tanya Rangga penasaran.
“Aku akan meminta Tuhan untuk mengubahku menjadi bunga mawar. Agar aku berhasil memastikan bahwa kamu hanya tertidur. Karena waktu mencium wangi bunga mawar, selelap apa pun tidurmu, pasti akan terbangun. Haha!”

“Hai, semuanya!” Teriak Frina ceria, meramaikan suasana, memotong percakapan kami. Parfumnya tercium semenjak ia menerobos masuk ke dalam. High heelsnya menghasilkan irama di setiap langkahnya. Ia menghampiri Rangga, mencium pipi dan mengusap keningnya. O’ow ciuman di pipi itu meledakkan bom di hatiku seketika.

Kenapa sih aku harus mencintai seseorang milik orang lain? Hatiku ini memang bisanya hanya merepotkan saja! Percayalah, tidak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah rasa cinta yang terlarang tuk diungkapkan. Tapi rasa cinta itu sendiri pun tak bisa dienyahkan, sungguh tidak adil rasanya.

“Gimana kabarnya, Sayang?” tanya Frina sambil mengikat rambut panjangnya.
“Yah, seperti yang kamu lihat, belum ada kemajuan,” jawab Rangga sedih, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Kamu darimana sih? Kok rapi banget?”
“Aku abis dari birthday party nya asisten dosenku, Ga. Tadinya sih aku nggak akan dateng, biar aku bisa menemani kamu di sini. Tapi kupikir lebih baik aku datang, karna aku sama dia sudah deket banget sih.”
“Perginya sama… Alvie?” tanya Rangga hati-hati. Mata Frina membelalak. Ia membuat jeda dan berpikir, “Hm? i.. iya… sama Defrina sama Siska juga kok, eh udah lama disini, Des?” tutur Frina berniat mengalihkan pembicaraan padaku.

Aku yang ditanya buru-buru melenyapkan imajinasi sebuah adegan yang ku bayangkan dimana aku sedang mencium pipi Rangga.
“Ah? Hmm… Belom kok, Na. Eh kamu mau kemana sih pake baju bagus gitu?”
“Eh si Neng, kan barusan udah cerita, aku abis dari birthday party nya temen. Dasar kamu mah… Hahahaha,” tuturnya sambil tertawa.

Entah lelucon itu memang garing, atau memang menyinggungku, aku sama sekali tak ingin tertawa. Aku terlalu sibuk memadamkan api cemburu yang mulai merayap ke ubun-ubun. Alhasil hatiku habis, hangus terbakar. Seandainya ada seseorang yang bersedia menadah serpihan abu dan memahatnya kembali menjadi utuh, pastilah aku akan berpaling dari Rangga untuk mencintainya.

Nama cowok yang di tanyakan Rangga tadi menguap begitu saja, seolah Frina membuatnya tabu untuk di bicarakan.

Lalu sesuatu tiba-tiba mengejutkanku. Ilusi tentang pemakaman yang ku saksikan di perjalanan menuju kemari menyeruak diantara aktivitas jutaan sel yang tengah sibuk berkoneksi di dalam otak. Kupikir Frina harus mengetahui mengenai hal itu…

“Na, temani aku ngopi di cafetaria yuk?”
“Mm, boleh deh, bentar ya, Sayang.” pamit Frina.
Kami berdua meninggalkan ruangan dan segera saja berbaur dengan gemuruh suara puluhan manusia yang bergema ke seluruh penjuru kantin.
“Na, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu,” tuturku hati-hati.
“Ngomong aja, Des,” jawab Frina searaya meneguk kopi susunya.
“Tadi saat perjalanan kemari, aku seperti melihat sign… pemakaman… Rangga.”
Wajah Frina memucat di ujung kalimatku. Tatapan matanya menancap mataku dalam dan bertanya, “Maksud kamu?”
“I… iya, kamu tahu kan , kalo bakat six sense aku udah banyak kebuktian? Ingat waktu rumah Om Frans dan tante Gyna yang di Rancaekek mau terbakar tahun lalu? Aku sempat mencegahnya, kan ?”
“Jadi… kamu berharap Rangga akan mati?”
“Bukan! Bukan gitu maksud aku, Na… Aku hanya, hanya… memberitahumu apa yang kulihat.”
“Dengar ya, Des! Dari dulu aku nggak percaya sama bakat six sense kamu yang omong kosong itu, mungkin saja kasus rumah tante Gyna itu cuma kebetulan! Dan jujur Des… aku kecewa banget sama argumentasi kamu mengenai pemakaman Rangga itu!” bentak Frina.
“Na, apapun akan aku pertaruhkan untuk menjamin kalo penglihatan aku itu nggak akan benar-benar terjadi! Kamu pikir kematian Rangga itu sesuatu yang kutunggu-tunggu apa? Hah?”
“Sudahlah, Des. Aku takut ngomong sama kamu. Selama ini kita sahabatan tapi kamu nggak pernah bisa menghargai perasaan aku. Seharusnya kamu tahu, kalo pernyataan kamu itu bisa bikin aku sakit hati tahu nggak? Aku takut, Des!”
“Na, tujuanku cum-”
“Halah, sudah lah, Des!” bentak Frina sambil berdiri dan beranjak pergi. Untung aku sempat menarik lengannya, dan berkata, “Please, Na… kamu salah paham.”
Frina menepisnya, ia mengambil beberapa langkah ke depan dan berbalik, “Satu lagi, Des. Jangan pernah kamu jengukin Rangga lagi! Aku nggak mau kamu jadi malapetaka buat dia!” Tuturnya geram, meninggalkan aku serta percikan air mata yang terisak menangisi bayangannya yang perlahan menjauh.

Aku pulang dengan perasaan galau. Perkataan terakhir Frina bersorak meramaikan pikiranku, berdenyut di dalam hati. Menusuk ke setiap pori-pori kulit, menimbulkan rasa nyeri yang tak terperi.

“Halo, Sayang… Malem minggu kok sedih? Kenapa?” tanya mama lembut sambil menghampiriku yang meringkuk malas di atas tempat tidur.
“Nggak kok, Ma… Desti nggak sedih.”
Mama mengambil napas panjang dan berkata, “Ya udah kalo nggak mau cerita, tapi kamu nggak boleh sedih lagi, ya?” Ia mengusap lembut kepala dan mencium keningku. Mama memang masih memperlakukanku seperti gadis kecilnya yang rapuh, bukan gadis belia berumur tujuh belas tahun yang sudah mandiri. Tapi hal itu justru membuatku bingung, harus kubalas dengan apa semua kasihnya yang tanpa pamrih itu? Tak ada hal setara yang mampu menggantikannya.

“Eh, Ma…” panggilku.
“Iya, Sayang? Ada apa?”
“Mm… Boleh ngga malam ini Desti menginap di rumah sakit menemani Rangga?”
“Lho, memang bu Kartika kemana?”
“Mamanya Rangga kan lagi ada di Garut dan baru pulang besok pagi. Boleh ya, Ma?” Pintaku memohon dengan memasang muka memelas. Mama terlihat berpikir, “Lagipula kan sekarang malam minggu, Ma… Ya, ya, ya?” lanjutku dengan memaksa.
“Yahh… apa sih yang nggak buat kamu? Tapi pergi nya dianter sama Pak Lukman ya?”
“Oke deeh!”
“Ya udah kamu makan malem dulu gih, abis itu ganti baju pakai piyama, biar lebih nyaman. Titip salam buat Rangga ya, Des.”

Sepanjang perjalanan rasa cemas berhasil mengelabuiku. Aduh, bagaimana kalau nanti aku bertemu Frina di sana ? Apa yang harus kukatakan? Melihat sikapnya yang kasar padaku sore tadi membuatku segan untuk bertemu dengannya.

Akhirnya aku sampai dikamar inap Rangga. Tanpa mengetuk terlebih dahulu aku memutar knop pintu dan mendapati Rangga tak ada di tempat tidur. Jantungku nyaris meledak. Di kamar mandi juga tidak ada. Tapi pintu balkon terbuka, secepat kilat aku menghampirinya dan… astaga! Demi Tuhan pencipta alam semesta, betapa terkejutnya aku melihat posisi Rangga yang telah berdiri mencoba untuk melompat ke bawah.
Rangga!” teriakku nyaring berusaha menghentikan niat buruknya.
Seperti tersambar petir, ia terkejut mendapati kedatanganku. Kontan ia menatapku dengan tatapannya yang menghujam dan berkata, “Biarin aku pergi, Des… Aku udah nggak kuat lagi menahan semuanya, aku nyerah, Des!”
“Nggak! Kamu nggak boleh menyerah, Rangga! Hentikan semua ini!”
Seandainya ia tahu, bahwa aku disini rela mengorbankan apapun agar ia mampu bertahan, tapi mengapa dengan mudahnya ia menyia-nyiakan perjuanganku?

Aku berlari dan memeluknya erat. Kutarik tubuhnya hingga kami berdua tersungkur ke lantai nyaris menabrak dinding.
“Please jangan pernah kamu lakukan itu lagi.”
“Kenapa, Des?”
“Karena…” jawabku sambil terisak. Kupikir aku harus menyatakan cintaku padanya sekarang. Karena tak ada yang dapat menjamin bahwa aku masih memiliki cukup waktu untuk mengutarakannya.
“Karena aku cinta sama kamu, Ga. Aku nggak mau kehilangan kamu, please… Aku minta kamu untuk bertahan, Rangga…”

Perlahan, ia melingkarkan tangannya di tubuhku. Tangisanku pecah didalam pelukannya.
Mendadak suasana disekelilingku menjadi mengharu biru. Udara dingin dengan lancang menggerayangi tubuh, membuat kami tetap berpelukan setelah tersungkur dilantai dekat pintu balkon. Detak jantungku yang memburu mulai mereda seiring dengan belaian Rangga yang menghangatkan nyaris seluruh jiwa, membebaskan percikan asmara yang telah lama terbelenggu di dalam dada.

“Desti?” seseorang memanggilku. Ku rasakan tubuh Rangga membeku. Tubuhku juga. Ketika ku palingkan mata pada pintu balkon, ku lihat Frina tengah menelanjangi kami dengan tatapan matanya yang tajam dan mencekam. Sedetik kemudian ia berlari meninggalkan kami.
“Frina!” panggilku setengah menjerit. Aku bergegas mengejarnya, tapi Rangga mencegahku.
“Biarin aja, Des. Memang ini yang selama ini ia tunggu-tunggu. Ia menantikan sebuah alasan untuk lepas dariku, lagipula perempuan mana yang mau bersanding dengan lelaki penyakitan sepertiku?”
***

…lalu siapa perempuan yang menghadap nisan itu? Penggungnya berguncang, ingin aku menghampirinya. Kupikir sebuah pelukan bisa redakan setidaknya sedikit kalut dan kesedihan. Tetapi, baru selangkah, seseorang menepuk pundakku.

Mama menepuk pundakku.

“Bangun, Sayang… Udah pagi.”
Aku terperanjat. Kukerjapkan mata berulang kali. Kepalaku masih berlabuh dilengan Rangga yang masih tertidur pulas. Lalu aku memandang mama yang tengah tersenyum hangat padaku.
“Pulang dulu gih. Mandi, makan, terus siap-siap, hari ini kan kamu ada les biola? Nanti sore kamu boleh kembali lagi kemari.”

Tidak semua kalimat mama dapat kucerna dengan baik. Persetan dengan les biola, aku hanya ingin tahu, siapa yang memutar acara pemakaman itu berulang kali didalam otakku? Meskipun hanya mimpi, tapi semua itu terasa benar-benar nyata.

“Desti…?” panggil mama menyadarkanku.
“Eh, apa Ma?”
“Kamu dengar mama kan , Sayang?”
“I… iya.”
“Selamat pagi, Desti.” Sapa Rangga lembut, tentu dengan senyum andalannya. Hatiku getir, bertanya-tanya, berapa lama lagi waktu yang ku miliki untuk menikmati senyum termanis yang dimilikinya?
“Pagi,” jawabku sambil membalas senyumannya. “Aku pulang dulu ya, Ga? Hari ini aku ada les biola.”
“Kapan kamu kembali kemari?”
“Nanti sore, aku janji. Ayo, Ma?” ajakku seraya melemparkan pandanganku pada mama.
“Nggak, mama janjian ketemuan sama bu Kartika disini, Sayang. Kamu pulang diantar pak Lukman aja.”
“Ya udah deh, dadah Mama. Titip salam buat mamanya Rangga ya, Ma.”

Aku melangkah dengan perasaan yang tidak karuan. Diantara kegelisahan yang membabi buta, terbit juga sebersit perasaan bahagia. Untuk pertama kalinya aku terlelap disamping pujaan hatiku. Bahkan telah kulantunkan juga perasaan yang selama ini terpendam dihati. Sulit untuk mempercayainya. Semuanya terasa lebih ringan ketika kupastikan Rangga tahu perasaanku padanya.

Seutas senyuman terlukis diwajahku. Perasaan senang ini seolah membawaku bertamasya ke langit ke tujuh, menari diatas awan dan bersenandung dipangkuan pelangi.
Namun bayangan Frina membuatku terbanting kembali ke permukaan bumi. Rasa bersalah dengan garang menyerangku. Lewat pantulan cermin kasir yang kulewati, aku melihat seorang gadis berwajah iblis, yang mencuri cinta mati milik sahabat sejati…

Mobilku membelah jalanan kota Bandung di pagi yang cerah. Tidak banyak kendaraan yang berseliweran di jembatan Pasopati. Hanya beberapa saja, bahkan bisa kuhitung dengan jari.
Aku menengok mentari yang menyumbul dan melukis wajah Rangga disana dari balik jendela.
Tiba-tiba saja sebuah mobil dari arah berlawanan menghantam mobilku keras sekali. Suaranya terdengar seperti bom, rasa sakit menohokku seketika. Tanpa mampu bergeser sedikit atau bahkan menjerit, pecahan kaca telah menusuk nyaris seluruh bagian wajah. Tubuhku tertimpa mobil yang terguling dan sedetik kemudian bau amis menyerang dari percikan air berwarna merah segar. Astaga, itu darah. Lalu semuanya gelap.
Ternyata aku tak mampu menepati janjiku untuk kembali menengok Rangga sore ini, karena entah mengapa aku berada disini.

Gerimis turun bergantian. Semilir angin memetik bunga kamboja, menjatuhkannya di kepalaku seiring dengan kibasan sayap kupu-kupu yang kemudian hinggap di bahuku.

Warna hitam mendominasi pakaian yang dikenakan mayoritas orang.

Seperti sebuah elegi yang selalu bernuansa hitam menerjemahkan duka, beberapa orang terlihat menangis deras. Kami membentuk lingkaran mengelilingi pusara, membuatku bisa dengan mudah mengenali wajah-wajah mereka dengan jelas. Tunggu, siapa perempuan yang menghadap nisan itu? Penggungnya berguncang. Ingin aku menghampirinya. Kupikir sebuah pelukan bisa redakan setidaknya sedikit kalut dan kesedihan. Tetapi, baru selangkah, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik dan mendapati dia yang berjubah putih di antara sekumpulan orang berpakaian serba hitam. Aku menatapnya heran. Tanpa permisi ia menggenggam lenganku erat dan seperti mau membawaku pergi dari situ. Aku menepis tangan dinginnya dan beralih memunggunginya. Saat itu juga perempuan tadi berbalik beranjak pergi. Oh perempuan itu adalah mama, tapi mengapa mama yang paling histeris atas kematian Rangga? Kecurigaan dan ketakutanku memuncak, membuatku menghampiri nisan untuk memastikan apa yang tersurat diatasnya.

Desti Larasati
Binti Aryo Wicaksono
Lahir 15 Mei 1992
Wafat 26 September 2009

Tanpa mampu mengelak barang sedetik saja, tangan dingin tadi telah membawaku pergi jauh dari situ.
Setidaknya aku pergi dengan kedamaian. Tapi seandainya malam itu tak kunyatakan perasaanku pada Rangga, aku tak tahu…
***

Rasanya seperti tertidur lama.
Mama menggenggamku erat dan bersamanya ku telusuri lorong-lorong rumah sakit. Tidak lama, kami sampai dikamar inap rangga. Mama menidurkanku di meja sebelah ranjang. Sulit menyesuaikan diri dengan tubuh baruku ini. Sebuah tangkai yang kaku tanpa tangan dan kaki, yang dilengkapi mahkota berbentuk kelopak mawar berwarna merah. Semuanya terasa sangat asing bagiku.

Aku memandang takjub Rangga yang tertidur pulas. Perlahan kusebarkan aroma khas ke sekeliling ruangan, agar Rangga bisa ikut menghirupnya. Hanya perlu sepersekian menit untuk membuatnya menggeliat dan terbangun.

Akhirnya, aku menyelesaikan tugas terakhirku, untuk memastikan bahwa ia
hanya tertidur.
Terimakasih Tuhan, Engkau mengabulkan doa terakhirku.
***

“Simpel saja, seandainya aku mengalami itu, maksudku tertidur tanpa bangun lagi, aku hanya akan meminta satu hal pada Tuhan.”
“Apa itu, Des?” Tanya Rangga penasaran.
“Aku akan meminta Tuhan untuk mengubahku jadi bunga mawar. Agar aku berhasil memastikan bahwa kamu hanya tertidur. Karena waktu mencium wangi bunga mawar, selelap apapun tidurmu, pasti akan terbangun. Haha!”
READMORE - Doa Terakhirku