oleh : Mutiara Syalen
Jika
kita perhatikan baik-baik lingkungan di sekitar kita secara umum, tidak dapat
dipungkiri kita masih sering menjumpai hal yang kita sebut dengan
“diskriminasi”. Diskriminasi itu sendiri menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi
artinya merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Kasus
diskriminasi yang paling umum terjadi di dunia ialah diskriminasi terhadap ras.
Salah satu contohnya dapat dilihat di masa lalu, dimana ras dibedakan menjadi tiga
di Amerika, ras berkulit putih, ras berkulit merah dan ras berkulit hitam. Saat
itu ras berkulit hitam dapat dibilang hampir tidak mendapat tempat. Namun
seiring berkembangnya zaman dan ideologi mengenai keadilan dan kebebasan, maka
diskriminasi terhadap ras tersebut telah dihapuskan meski pada praktek
kenyataannya, diskriminasi terhadap ras ini masih kita jumpai namun tidak
se”fulgar” dulu.
Kemudian
setelah diskriminasi terhadap ras sudah mulai dihapus, muncullah diskriminasi-
diskriminasi lainnya, seperti diskriminasi terhadap hak, sosial, perlakuan,
agama, lingkungan dan macam-macam diskriminasi lainnya.
Negara Indonesia
merupakan salah satu negara yang sangat menjunjung tinggi
keadilan dan perdamaian, namun melihat kenyataan yang ada, begitu jelas bahwa
pada kenyataannya upaya untuk menjunjung keadilan dan perdamaian tersebut
kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari cara pemerintah maupun lembaga
pelayanan masyarakat pada umumnya cenderung melakukan diskriminasi baik secara
langsung maupun tidak langsung, tidak hanya dari pemerintahannya,
perusahaan-perusahaan yang merekrut tenaga kerjanya pun kerap kali melakukan
tindakan diskriminasi. Itu hanya sebagian kecil dari contoh-contoh diskriminasi
yang terjadi.
Contoh-contoh
kasus diskriminasi terhadap segi hak yang paling sederhana, yang terjadi di
masyarakat dapat berhubungan dengan pelayanan yang diterima oleh masyarakat. Sebagai
contoh pelayanan terhadap kesehatan masyarakat di Jakarta. Jika ada pasien yang
datang untuk dirawat, maka yang lebih diutamakan adalah orang-orang yang
tergolong mampu membayar tanpa mengalami kesulitan apapun. Diskriminasi ini
juga dapat digolongkan ke diskriminasi terhadap status sosial. Golongan ekonomi
menengah keatas lebih dimudahkan dalam proses, baik dalam proses registrasi, maupun
perlakuan dari dokter, perawat hingga petugas kebersihan. Memang tidak dapat
dipungkiri hal tersebut tidak dapat dihindari, tetapi setidaknya hal tersebut
dapat diminimalisasi, pihak rumah sakit sebaiknya memberikan perlakuan yang
adil dalam hal memprioritaskan layanan, masih dapat dimaklumi jika diadakan
perbedan dari kualitas pelayanan, tetapi rasanya cukup tidak adil jika
perbedaan layanan tersebut juga diterapkan dari segi prioritas.
Kasus
lainnya juga kerap kali terjadi pada pelayanan masyarakat di tingkat RW,
Kelurahan, bahkan Kecamatan jika masyarakat umumnya ingin mengurus surat-surat
berharga seperti KTP, KK, akte atau hanya sekedar mengurus surat yang penting
dari sekolah bagi pelajar. Terkadang pihak instansi tersebut cenderung lebih
mengutamakan melayani orang-orang yang dikenalnya, atau lebih memprioritaskan
mereka yang memberikan “uang pelancar”. Padahal sebagai lembaga pelayanan
masyarakat seharusnya instansi-instansi tersebut menyamaratakan pelayanannya
terhadap lapisan masyarakat manapun sekalipun mereka memiliki hubungan
kekerabatan.
Contoh
lainnya datang dari dunia pekerjaan. Seperti perekrutan pegawai sebuah
perusahaan. Karena perusahaan tidak dapat mengontrol dan mengetahui produktivitas
pekerja secara mendetail dan individual, perusahaan cenderung menyandarkan
kriteria yang harus dipenuhinya hanya berbatas pada aspek-aspek yang kasat
mata, seperti melihat dari golongan atau kelompok mana orang tersebut berasal,
bahkan dilihat dari ras dan jenis kelaminnya, maka perusahaan sering kali mengasumsikan
golongan atau suku-suku tertentu memiliki tingkat produktivitas yang rendah
sehingga ia hanya memiliki sedikit sekali bahkan hampir tidak ada kesempatan
untuk menjadi pegawai perusahaan tersebut. Padahal bisa saja orang tersebut
ketika diuji kemampuan, semangat dan lain-lain justru lebih memenuhi kriteria
dibandingkan mereka yang diutamakan
karena aspek-aspek yang telah tersebut
diatas.
Diskriminasi
dalam pekerjaan (baca : prakerin) juga
terjadi pada pelajar SMK. Yang dalam program belajarnya diadakan kegiatan
Praktek Kerja Lapangan yaitu para siswa diberi kesempatan untuk mendapat
pengalaman dan wawasan terjun ke dunia kerja secara langsung. Dalam prosesnya,
siswa harus menjalani prosedur permohonan PKL pada perusahaan-perusahaan
tertentu. Namun tidak jarang perusahaan tersebut hanya memberikan kesempatan
kepada mereka yang dalam proses permohonannya melalui “orang dalam” atau
mempunyai kenalan di dalam perusahaan tersebut, jika tidak memiliki maka siswa
tersebut tidak diterima. Jelas sekali terjadi diskriminasi dalam hal ini,
karena seharusnya perekrutan pegawai yang lebih diutamakan adalah kemampuan,
bukan hanya sekedar “kenal”. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang perusahaan
tersebut, bisa saja mereka memiliki alasan karena tidak mau ambil pusing jika
terjadi apa-apa. Namun demikian, Indonesia menjunjung tinggi HAM dan tiap-tiap
orang berhak mendapat kesempatan untuk meraih apa yang ia mau sekalipun harus
melalui berbagai persyaratan. Persyaratan ini dapat dijadikan solusi bagi
perusahaan-perusahaan yang tidak mau ambil repot tadi.
Masih
banyak lagi kasus sederhana lain yang menggambarkan diskriminasi terhadap
individu-individu tertentu. Mungkin tidak akan menjadi masalah bila hal
tersebut tidak merugikan pihak lain. Tetapi dilihat dari kasus pelayanan
kesehatan yang sudah disebutkan tadi, jelas itu merugikan masyarakat yang
berekonomi kurang mampu, padahal mereka layak mendapatkan layanan tersebut atas
jaminan pemerintah Jakarta itu sendiri. Kemudian dilihat dari kasus pelayanan
masyarakat di bidang sosial, hal tersebut tentu merugikan masyarakat yang tidak
dijadikan prioritas. Padahal jika dilihat dari urutan, merekalah yang sudah
lebih dulu antre untuk mendapat pelayanan. Dari kasus perekrutan pegawai maupun
siswa PKL, sungguh disayangkan bila mereka yang memiliki kemampuan tidak
mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari perusahaan tersebut.
Diskriminasi-diskriminasi
sederhana seperti ini sudah seharusnya dihapuskan, mengingat negara Indonesia
merupakan negara yang berasaskan demokrasi pancasila, dan demokrasi adalah
sistem yang menganut HAM sehingga setiap lapisan masyarakatnya mendapat hak
yang sama dalam berbagai aspek. Untuk meminimalisasi tindakan diskriminasi ini,
diperlukan kesadaran dari semua pihak. Pemerintah sebaiknya melakukan
pengawasan yang ketat terhadap instansi-instansi yang bertugas memenuhi layanan
terhadap masyarakat. Rumah sakit harus memperbaiki kualitas pelayanannya dan
memperlakukan pasien secara adil, terutama rumah sakit yang didanai oleh
pemerintah. Kesadaran masyarakat mutlak diperlukan untuk menegakkan keadilan,
dan mengeluarkan aspirasinya ketika diperlakukan tidak adil. Pembahasan kasus
ini masih tergolong sederhana, tetapi bukankah perubahan sebaiknya di mulai
dari hal yang paling sederhana? Di mulai dari hal yang kecil, di mulai dari
individu-individu tiap masyarakatnya agar lambat laun keadilan dan kedamaian
dapat terwujud di negeri yang berasaskan demokrasi ini.
No comments:
Post a Comment